Bila riba begitu
dilarang dalam Islam, pastilah karena riba sangat banyak menimbulkan mudharat
– sampai-sampai kenaikan harga cabe, kelangkaan bahan
pangan dan berbagai produk kebutuhan lainnya-pun bisa
karena riba. Tetapi Dia Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, pasti tidak
akan membiarkan hambanya begitu saja terlilit dengan riba tanpa memberinya
solusi. Dan solusi dariNya itu begitu efektif sehingga satu solusi kadang
menyelesaikan begitu banyak masalah sekaligus. Untuk mengatasi riba ini saya
melihat adanya solusi 3 in 1-nya, satu solusi untuk mengatasi tiga pilar
ekonomi sekaligus yaitu pasar, produksi dan modal.
Sebelum menguraikan 3
in 1 solusi riba ini, saya berikan contoh dahulu betapa satu solusi di
Al-Qur’an mengatasi 3 masalah sekaligus yaitu kemiskinan, kekeringan dan
ketiadaan keturunan (kemandulan) – satu solusi untuk ini adalah Istighfar (QS
71: 10-12).
Sedangkan dalam
masalah riba, riba meruntuhkan tiga pilar ekonomi tersebut di atas. Di pasar,
Umar bin Khattab dahulu sebagai muhtasib (pengawas pasar) sering berdiri di
gerbang pasar dan berteriak ‘tidak boleh jual beli di pasar kecuali yang
tahu syariat jual beli, (bila tidak) saya khawatir kalian terlibat dalam riba
tanpa mengetahuinya’.
Dalam hal produksi,
hampir di setiap barang yang kita konsumsi dan kita gunakan sehari-hari saat
ini menjadi mahal karena riba menyusup di ongkos produksinya. Di bidang
sandang, pakain yang kita produksi menjadi mahal karena produsen menghitung
beban bunga. Di pangan cabe dan daging dlsb menjadi mahal karena bersaing
dengan beban bunga. Di papan, rumah menjadi tidak terjangkau karena harga rumah
sudah memperhitungkan beban bunga. Pendek kata seluruh kebutuhan kita di
sandang, pangan, dan papan semuanya dibebani dengan biaya bunga.
Dalam hal modal-pun
masalahnya sama yaitu riba ini. Karena adanya riba suku bunga bank 6% misalnya,
orang yang hendak memutar hartanya harus bersaing dengan bunga 6 % yang dijamin
pemerintah dan rakyatnya ini.
Efeknya menjadi lebih
serius karena bank yang mengelola dana masyarakat akan mengambil margin yang
kurang lebih sama dengan yang diberikan ke para penabungnya. Bila ke masyarakat
bunga yang diberikan 6%, ditambah jumlah yang sama untuk bank-nya – maka kalau
Anda hendak pinjam ke bank untuk usaha – Anda terkena beban bunga sekitar 12 %
per tahun.
Usaha dengan tingkat
hasil 10 % per tahun sudah merupakan usaha yang sangat baik untuk standar
dunia, dengan tingkat hasil 20 % per tahun adalah usaha yang extra ordinary –
luar biasa. Tetapi meskipun Anda berkinerja sangat baik, hasilnya belum cukup
untuk membayar bunga bank. Dengan kinerja extra ordinary, lebih dari separuh
hasil Anda hanya untuk membayar bunga bank.
Inilah sebabnya, jalan
satu –satunya untuk negeri ini bisa memakmurkan rakyatnya adalah bila kita bisa
membebaskan diri dari belenggu riba. Sulitkah ini ? mestinya tidak – karena ada
petunjuknya yang sangat terperinci, detail, urut – yang direnceng oleh Allah
dalam 9 ayat mulai dari Surat Al-Baqarah 275 sampai 283.
Begitu Allah
memperingatkan ancaman riba, Allah langsung memberikan solusinya yaitu jual
beli (QS 2:275), maka hanya melalui menghidup-hidupkan jual beli inilah kita
bisa menghilangkan riba. Salah satu jenis jual beli yang mengandungrukhsah –
kemudahan dari Allah seperti jual beli dengan akad salam misalnya, sudah akan
bisa mengatasi tiga masalah tersebut di atas sekaligus – yaitu masalah pasar,
produksi dan modal.
Dengan akad salam, di
pasar akan ada jaminan ketersediaan produk sehingga terhindar dari kelangkaan
yang mendorong harga naik seperti kasus mahalnya harga cabe dan daging. Di
produksi akan ada aliran modal yang membiayainya, sehingga produksi bisa
optimal dalam kwalitas dan kwantitas.
Mengapa Apple
Washington mulus-mulus dan bisa membanjiri pasar ini sekuat daya beli kita – ya
karena suku bunga riba di negeri itu jauh lebih rendah dari kita hanya 1.35%.
Mengapa daging dan perbagai produk turunannya dari New Zealand dan Australia
bisa membanjiri pasar ini, ya antara lain karena suku bunga di negeri itu
kurang lebih hanya separuh dari suku bunga di negeri ini.
Bayangkan kalau kita
bisa menghilangkan riba, petani dan produsen kita akan kebanjiran modal,
tenaga-tenaga dengan skills terbaik akan menyerbu sektor ini, dan bukan hanya
kebutuhan pangan dalam negeri yang bisa diatasi tetapi juga kita akan mampu
bersaing secara global.
Tentu tidak fair kalau
hanya menyalahkan riba yang menjadi semua penyebab kekacauan ekonomi ini,
tetapi dengan upaya meninggalkan riba – yang merupakan bentuk ketaatan kita –
Allah akan memudahkan kita untuk memperoleh ilmunya (QS 2:282) yang lain dalam
mengatasi berbagai persoalan yang kita hadapi.
Untuk melawan riba,
awalnya kita disuruh berdagang (QS 2:275) – karena dengan itulah umat ini akan
memiliki kekuatan untuk bersedekah – menolong yang kurang mampu– yang dengan
itulah riba akan dimusnahkanNya (QS 2:276). Kalau kita sendiri yang kurang
mampu, bagaimana bisa menolong orang lain ? yang tidak memiliki tidak bisa
memberi – itulah mengapa solusi berdagang oleh Allah ditaruh ditempat yang
sangat awal – yaitu begitu Allah mengingatkan bahaya riba – kita sudah langsung
diberi solusi berdagang ini.
Solusi itu begitu
detil dan antisipatif – sehingga permasalahan yang timbul dari perdagangan
inipun sudah diberikan solusinya oleh Allah dalam rangkian ayat tersebut. Pada
saat saya memperkenalkan konsep jual beli salam ini pada
tulisan sebelumnya, ada pertanyaan tentang bagaimana kalau petani gagal
memproduksi hasil pertanian yang sudah dibeli dengan akad salam misalnya.
Saya tidak langsung
menjawabnya – karena inilah realita di lapangan, benar bahwa hasil panen bisa
gagal atau tidak memberikan seperti yang diharapkan. Lantas apa solusinya bila
terjadi yang demikian ? Ternyata jawabannya juga sudah disitu-situ juga, yaitu
di ayat lanjutannya.
Petani atau produsen
yang gagal berproduksi seperti yang dijanjikannya, posisinya seperti orang yang
berhutang. Orang yang berhutang biasanya lebih lemah dari yang memberi
hutangan, maka yang memberi hutangan di-encouraged oleh Allah untuk memberi
kelonggaran waktu, dan bahkan lebih baik lagi kalau mau mensedekahkannya ( QS
2:280).
Bagaimana kalau
pembeli akad salam ini ngotot ingin barangnya harus sempurna seperti yang
dijanjikan dan tepat pada waktunya ? diapun berhak melakukan ini karena itulah
yang ada di perjanjikan, dan muslim terikat dengan apa yang diperjanjikannya.
Lantas apa solusinya bagi petani/produsen ? dari mana dia bisa memenuhi
kewajibannya ? dari mana dia akan punya modal untuk memberikan barang pengganti
sekaligus modal untuk menenanam atau memproduksi kembali ?
Itulah perlunya umat
ini bersyirkah, berasosiasi atau berjamaah dalam pekerjaan besar ini. Masalah
seperti ini-pun muncul di era-era Islam menguasai peradaban dunia, maka ada
yang disebut naqabah atau guild – integrasi
horizontal dan vertical untuk pelaku produksi sejenis.
Karena produsen barang
sejenis saling bahu membahu melayani pasarnya bersama-sama – bukan saling
bersaing dan saling mematikan seperti persaingan di era kapitalisme – maka
masalah seperti gagalnya produksi satu produsen bisa ditanggung rame-rame dan
ditolong oleh produsen lainnya.
Di era modern ini,
konsep tersebut selain bisa diwujudkan melalui menghidupkan kembali konsep
naqabah, bisa juga melalui konsep takaful atau taawun – yang dikelola oleh risk
manager yang professional di bidangnya.
Maka kalau kami akan
menghadirkan akad salam di jaman ini misalnya, insyaAllah kami juga akan ajak
teman-teman asuransi syariah untuk mengembangkan produk yang sesuai untuk
mem-back-up resiko yang timbul.
Bahkan kami juga akan
melibatkan teman-teman di bank syariah untuk pencatatan transaksi keuangannya
seperti yang diamanahkan di surat Al-Baqarah 282. Selama kita masih menggunakan
uang kertas, maka kita tetap butuh bank untuk mengelola uang tersebut karena
kita tidak mungkin menumpuk uang di bawah bantal atau di celengan – yang justru
mati tidak berputar.
Tetapi dari kebutuhan
(dzarurat) akan hadirnya bank ini, patut juga kita renungkan hadits berikut :
“Emas dengan emas,
perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (gandum) dengan
sya’ir(gandum), kurma dengan kurma, garam dengan garam, maka jumlahnya (takaran
atau timbangan) harus sama dan dari tangan ke tangan (tunai). Jika jenis
barang berbeda, maka silakan mempertukarkannya sesukamu, namun harus dilakukan
dari tangan ke tangan (tunai).” (HR. Muslim)
Artinya ketika jual beli sudah bisa
dilakukan dengan begitu canggihnya, jual beli bisa dilakukan dengan
mempertukarkan kembali barang dengan barang seperti hadits tersebut di atas –
keberadaan bank tidak lagi menjadi suatu keharusan, dan inipun dimungkinkan di
era Financial Technology (Fintech) ini.
Bentuknya seperti apa ? Wa Allahu A’lam
tetapi dunia memang sedang berlomba untuk me –redefine – mendefinisikan ulang
konsep uang ini, dan mestinya juga harus ada sebagian dari umat ini yangn
ancang-ancang di titik start terdepan – siap adu lari kencang dengan yang lain.
InsyaAllah.
Post a Comment