Banyak orang tahu bahwa rokok mengancam kesehatan namun tidak bisa melepaskan diri dari jeratan rokok. Sudah jelas merokok mengancam kesehatan tapi tetap saja merokok. Padahal rokok telah menyebabkan kematian dalam jumlah besar. 12,7 % kematian di Indonesia terjadi akibat penyakit yang berhubungan dengan rokok. Di dunia terdapat 1 kematian setiap detik. Sebanyak 1.250 batang konsumsi rata-rata per orang setiap tahun. 600 juta batang rokok yang diisap di Indonesia setiap hari. 524 miliar batang proyeksi produksi rokok pada tahun 2020. Naik 48 % dari produksi tahun 2014. (Data Komnas Perlindungan Anak, FKM UI, dan Litbang Kemenkes RI, 2013).
Usia tidak menjadi batas pengonsumsi rokok. Tua, muda, remaja, dan anak-anak merokok. laki-laki dan perempuan merokok. Di mana-mana dan kapan saja orang merokok. Rokok telah menjelma sebagai tuhan. Demikian kata Taufik Ismail dalam puisinya ‘tuhan sembilan senti’. Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para bagi dewa-dewa perokok, tapi tempat cobaan sangat berat bagi yang tak merokok. Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita. Di pasar orang merokok, di warung Tegal pengunjung merokok, di restoran di toko buku orang merokok, di kafe di diskotek orang merokok.
Orang pintar merokok. Guru, kepala sekolah, dan anak sekolah merokok. Jadi merokok bukan masalah tahu atau tidak tahu. Guru yang mengajarkan kesehatan pun merokok. Saya pernah menghadiri Technical Meeting (TM) lomba O2SN. Tidak terhitung berapa banyak guru (olah raga) yang merokok. Guru yang seharusnya memberi contoh tentang menjaga kesehatan. Bukan berarti bukan guru olah raga boleh merokok. Guru merokok, murid pun ikut-ikutan merokok. Bahkan mungkin lebih jago dan lebih mahal rokoknya daripada sang guru. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
Rokok menghasilkan pengeluaran yang besar. Diperkirakan Rp 225 triliun uang yang dibelanjakan untuk rokok pertahunnya di Indonesia. (Kemenkes RI, 2013). Ironisnya perokok itu termasuk masyarakat kalangan kelas bawah (miskin). Padahal untuk memenuhi kebutuhannya saja sulit, tapi menghamburkan uang untuk konsumsi rokok. Para orang tua mengeluh dengan biaya sekolah anak, tapi ringan untuk belanja rokok. Harga BBM naik banyak yang mengeluh, bahkan demo. Tapi tidak ketika harga rokok naik. Semahal apa pun rokok tetap dibeli.
Pajak rokok memberikan sumbangsih yang cukup besar yakni sekitar Rp 141,7 triliun per tahun. Akan tetapi jumlah itu hanya menguntungkan para pemilik modal saja. Itulah yang menjadikan pemilik PT Djarum dalam urutan 10 orang terkaya di Indonesia.
Kebanyakan orang miskin tetap merokok adalah karena terlanjur kecanduan. Mereka sulit menghentikan kebiasaan merokok. Alasan lain adalah sebagai penyemangat kerja. Untuk pengusir kantuk. Demikian juga yang terjadi pada kalangan ulama. Meskipun beberapa ulama ada yang mengharamkan rokok, ada pula beberapa ulama yang berpendapat rokok makruh (sebaiknya ditinggalkan) atau mubah (boleh). Pendapat ini lebih dikatakan pada ulama yang sudah terlanjur merokok dan kecanduan.
Sebenarnya para pecandu rokok itu mengerti tentang bahaya rokok. Pecandu rokok sekali pun akan melarang anaknya merokok. Mereka menjauh dari anaknya saat merokok. Dan mereka marah saat tahu anaknya merokok.
Rokok dan Anak
Data penelitian menyebutkan bahwa 90 % perokok mulai merokok sejak usia remaja. Setiap hari sekitar 3.000 anak usia 10-18 mulai merokok. 91,7 5 remaja usia 13-15 tahun merokok karena pengaruh iklan. 40 juta anak di Indonesia usia 0-14 tahun menjadi perokok. (Riset Kesehatan Dasar 2013, WHO).
Rokok mengancam anak-anak Indonesia. Bukan hanya sebagai perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Padahal menjadi perokok pasif tidak kalah berbahaya dengan perokok aktif. Indonesia menjadi tiga besar peringkat dunia sebagai perokok aktif. Ini jelas mengancam keberadaan anak-anak. Di mana-mana asap mengintai mereka.
Banyak faktor yang menyebabkan anak-anak menjadi perokok. Awalnya coba-coba, kemudian kecanduan. Takut dianggap penakut karena tidak berani mencoba. Alasan solidaritas sesama teman. Minder dikatakan tidak keren kalau tidak merokok. Kalimat yang sering dilontarkan adalah, ‘Banci aja ngerokok. Masa’ loe nggak merokok?’. Rokok adalah gerbang menuju penyalahgunaan narkoba. Memang tidak otomatis perokok juga adalah pecandu narkoba. Tapi mayoritas pecandu narkoba adalah perokok.
Kampanye melawan merokok sangat jarang dilakukan. Kita hanya mengenal dan memperingati 31 Mei sebagai Hari Tanpa Tembakau sedunia. Sementara, iklan rokok setiap hari memenuhi layar kaca. Dengan berbagai metode dan cara. Baik secara halus maupun kasat mata. Para pengusaha rokok mempunyai modal dana yang besar untuk iklan. Kerap kali kampanye dilakukan dengan memanfaatkan sosial media gratisan saja. Tentulah tidak sebanding.
Keteladanan
Antisipasi agar generasi muda tidak menjadi pecandu rokok adalah melalui keteladanan. Kalau bisa orang tua tidak merokok, agar anaknya pun tidak ikut-ikutan merokok. Anak yang tumbuh dalam lingkungan bebas asap rokok akan menjauhi asap di mana pun berada.
Indonesia belum mempunyai larangan merokok untuk anak secara tegas. Imbauan memang ada. Tapi tidak ada perlakuan tegas untuk anak-anak yang merokok. Untuk mencegah anak dari rokok dapat dilakukan melalui keteladanan. Keteladanan adalah bahasa yang bisa dimengerti siapa saja. Guru memberi contoh, murid mengikuti. Jangan merokok di depan murid. Tapi pada tempat yang sudah disediakan untuk merokok (smoking room). Lebih bagus lagi kalau bisa meninggalkan rokok secara total. Ustadz dan kyai berhenti merokok agar santri pun tidak merokok.
Bisakah seseorang berhenti merokok? Jawabannya bisa. Cari dan pilih berbagai alasan untuk berhenti merokok. Misalnya alasan kesehatan, takut kanker, menjaga kesehatan, atau untuk berhemat. Penulis dulu pernah mengenal rokok. Sewaktu masih duduk di bangku SD merokok karena belum tahu. Di SMP merokok karena ikut-ikutan. Di SMA sudah kecanduan rokok. Mulai berhenti di semester pertama sewaktu kuliah. Berhenti merokok karena akhirnya sadar bahwa rokok adalah haram. Pemahaman bahwa merokok adalah haram (membunuh diri sendiri secara perlahan-lahan) didapat ketika penulis ikut kajian keislaman secara intensif di kampus. Tepatnya pada 27 Januari 2017 penulis berhenti merokok setelah 12 tahun mengenal rokok. Alhamdulillah, sampai sekarang tidak pernah satu hisap pun kembali merokok.
Di Indonesia rokok mudah didapat karena harganya murah. Pelajar bisa membeli rokok dari uang sakunya. Si miskin bisa menahan lapar, tapi tidak bisa menahan asamnya mulut karena tidak merokok.
Dilema bagi pemerintah. Rokok mengancam kualitas generasi muda. Rokok juga memberikan pendapatan besar untuk negara lewat pajak. Banyak pula orang-orang Indonesia yang bekerja di perusahaan rokok. Para petani tembakau dan cengkeh terancam pula pendapatannya.
Pemerintah harusnya menaikkan pajak agar harga rokok semakin naik. Sehingga para perokok harus berpikir ulang untuk membeli rokok. Pelajar tidak lagi bisa membeli rokok. Si miskin pun kelimpungan untuk beli rokok. Sehingga dia berpikir daripada dipakai untuk konsumsi rokok lebih baik untuk membeli kebutuhan sehari-hari atau untuk biaya pendidikan sekolah anak.
Sumber : dakwatuna.com/hdn
Post a Comment