Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allah swt tidak mencabut ilmu sekaligus dari hamba-Nya, tetapi Dia mencabut ilmu tersebut dengan diwafatkannya para ulama. Sehingga, tidak ada satu ulama pun yang tersisa. Pada saat itulah manusia mengangkat pemimpin dari mereka yang bodoh. Dan pada saat pimpinan yang bodoh tersebut ditanyai, maka para pemimpin tersebut memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu, sehingga mereka tersesat dan menyesatkan.[1]
Ada yang menarik untuk dikaji antara metode belajar modern dengan para salaf. Jika belajar modern mengajarkan agar suasana belajar dibuat sedemikian menyenangkan, jauh dari tekanan dan paksaan, justru para salaf mengajarkan bahwa menuntut ilmu harus sungguh-sungguh dan bersusah payah. Di era modern, guru didorong untuk menjadi ‘teman’ belajar bagi muridnya. Sementara di era salaf seorang guru adalah transformer pengetahuan sekaligus karakter. Lebih dari itu para guru (ulama) memerankan diri sebagai solusi dan rujukan utama dalam semua persoalan hidup manusia.
Di era informasi yang sedemikian pesatnya, peran guru banyak tergantikan oleh media elektronik. Dampak yang muncul adalah lahirnya para penuntut ilmu yang merasa tidak butuh guru dan ingin cepat sampai maqam tertinggi dalam berbagi ilmu. Inilah fenomena yang kita saksikan, saat dimana seseorang tidak tertarik untuk mendalami ilmu hanya lantaran bahwa gadget di tangannya akan memberikan jawaban atas apapun masalah yang dihadapinya.
Inilah yang membedakan kwalitas para penuntut ilmu di masa salaf dan era modern. Penyakit yang menimpa kepada Bani Israel yang merasa tidak butuh kepada ulama dan mencukupkan diri dengan membaca, kini telah banyak menimpa kepada umat Islam. Jadilah mereka orang yang sok pintar walau hakikatnya adalah bodoh.
Dalam sebuah riwayat disebutkan: Pada saat haji Wada‘, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berada di depan orang-orang dengan memboncengkan Al-Fadhl bin Abbas di atas satu unta yang berwarna putih agak gelap. Beliau bersabda, “Wahai manusia, tuntutlah ilmu sebelum ilmu tersebut dicabut dan diangkat!” Maka ada seorang badui Arab menyela sabda beliau, “Wahai Nabi Allah, bagaimana mungkin ilmu itu diangkat, sedangkan di sisi kami terdapat lembar-lembar catatan dan kami pun telah mengajarkan kepada isteri-isteri kami, anak-anak kami, dan bahkan para pembantu kami?” Maka Rasulullah saw menengadahkan mukanya ke atas dan terlihat dari rona mukanya yang memerah, pertanda beliau sedang marah. Kemudian beliau bersabda,
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ هَذِهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى بَيْنَ أَظْهُرِهِمْ الْمَصَاحِفُ لَمْ يُصْبِحُوا يَتَعَلَّقُوا بِحَرْفٍ مِمَّا جَاءَتْهُمْ بِهِ أَنْبِيَاؤُهُمْ أَلَا وَإِنَّ مِنْ ذَهَابِ الْعِلْمِ أَنْ يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ ثَلَاثَ مِرَارٍ
“Duh, celaka kamu ini. Lihatlah orang-orang Yahudi dan Nasrani itu, bukankah di sisi mereka juga terdapat lembar-lembar catatan, namun demikian tak ada satu huruf pun di antara catatan tersebut yang hinggap di hati mereka dari apa yang telah diajarkan oleh nabi-nabi mereka. Ingatlah, sungguh, hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya orang yang memilikinya (beliau mengatakan hal ini sebanyak 3 kali).”’[2]
Hadits ini menunjukkan betapa pentingnya orang yang berilmu hadir dan menetap dalam sebuah komunitas masyarakat. Hadits ini juga mengisyaratkan betapa pentingnya kehadiran seorang pakar dan ulama meskipun di tengah-tengah mereka telah terdapat berbagai catatan (literatur). Sebab mereka inilah yang akan menjelaskan maksud dari semua isi catatan tersebut. Untuk kontek global seperti sekarang ini, maka keberadaan media sosial dan smartphone tidak akan mampu menggantikan peran ulama. Dengan kata lain, walau di tangan seseorang telah terdapat gadget tercanggih yang memuat berbagai kandungan ilmu yang sangat lengkap, namun hal itu tidak menjamin seseorang akan berada dalam ilmu yang benar manakala mereka meninggalkan ulama. Itulah mengapa Rasulullah saw mengingatkan bahwa dicabutnya ilmu ini adalah dengan diwafatkannya ulama. Isyarat yang terkandung dalam nubuwat di atas adalah bila ulama sudah tidak lagi dijadikan sebagai rujukan, maka itulah bentuk kematian ilmu. Juga Rasulullah saw mengingatkan bahwa tercabutnya ilmu adalah salah satu penyebab bagi kemusnahan suatu bangsa, di samping ia juga mengakibatkan umat tersebut akan menyimpang jauh dari jalan yang telah ditetapkan oleh Allah swt dan syariah-Nya.
Dari Sahl dari ayahnya, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَزَالُ الْأُمَّةُ عَلَى الشَّرِيعَةِ مَا لَمْ يَظْهَرْ فِيهَا ثَلَاثٌ مَا لَمْ يُقْبَضْ الْعِلْمُ مِنْهُمْ وَيَكْثُرْ فِيهِمْ وَلَدُ الْحِنْثِ وَيَظْهَرْ فِيهِمْ الصَّقَّارُونَ قَالَ وَمَا الصَّقَّارُونَ أَوْ الصَّقْلَاوُونَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بَشَرٌ يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ تَحِيَّتُهُمْ بَيْنَهُمْ التَّلَاعُنُ
“Umatku ini akan konsekuen terhadap syariah selama di tengah-tengah mereka tidak terdapat 3 perkara: selama ilmu belum dicabut dari mereka, selama di tengah mereka tidak banyak terdapat anak hasil dari hubungan zina, dan selama di tengah mereka tidak terdapat para shaqqarun.” Seseorang bertanya kepada Rasulullah saw, “Siapakah shaqqarun (atau shaqlawun- keraguan perawi) itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka ini adalah orang-orang di akhir zaman yang menjadikan salam penghormatan mereka dengan saling melaknat.”[3]
Betapa nyatanya peringatan beliau kepada umat umat akhir zaman ini. Ya, hari ini kita menyaksikan banyak sekali para pemuda yang baru belajar satu atau dua kali pertemuan sudah berani memberikan hujatan dan celaan kepada para ulama senior. Hanya dengan bermodal copas sebuah artikel mereka sudah berani berkomentar layaknya para pakar. Lihatlah dunia FB juga group sosial lainnya, komen bernada celaan dan saling laknat telah menjadi kebiasaan. Fenomena shaqqarun dan shaqlawun telah merebak. Semua merasa paling benar, bahkan siapa yang paling ahli mendebat dan membantah diidentikkan dengan orang alim yang cerdas. Padahal hakikatnya adalah alim dalam melaknat dan mencela. Semoga Allah menyelamatkan kita dari keburukan terjauhkannya ulama dalam kehidupan kita. Wallahu a’lam bish shawab
[1] HR. Al-Bukhari, Al-Ilm, hadits no. 100, [Fath Al-Bârî (1/234)]; Muslim, Al-‘Ilm, hadits no. 2673 [Muslim bi Syarh An-Nawawi (4/440)].
[2] HR. Ahmad.
[3] HR. Ahmad.
Sumber : Arrahmah.com
Post a Comment