Kring…kring..kring, bunyi handpone diatas kasur menghentikan jari-jemariku yang tengah asyik mengetik di komputer. “Widya” nama yang tertera dilayar Hp ku, aku langsung mengangkatnya.
“Kiyaaa !!” belum sempat aku bilang salam, Widya sudah berteriak diujung sana. Aku terpekik kaget mendengar teriakan cemprengnya. Kujauhkan sedikit handponeku dari telinga.
“ Assalamu’alaikum, Bukannya salam malah teriak-teriak” gerutuku kesal
“Wa’alaikumussalam, maaf Ki aku lupa saking senengnya. Ada kabar gembira untukmu dan kamu pasti sangat senang mendengarnya” seru Widya diujung telepon sana. “Daffa Amrullah, penulis kesayanganmu itu minggu depan akan hadir di kampus kita” lanjutnya dengan teriakan yang lebih kencang lagi. Aku berjengit kaget mendengar teriakannya sekaligus senang mendengar kabarnya.
“Serius? Kamu dapat info darimana Wid?” tanyaku penasaran.
“ Dari anak-anak sastra. Tadi mereka nempelin poster acara tahunan mereka. salah satu acaranya ada bedah buku. Dan buku yang dibedahnya adalah buku “Ku Titip Cintaku Pada-Nya” karya Daffa Amrullah” jelasnya dengan antusias.
“wah Alhamdulillah. Ini gak boleh ketinggalan, akhirnya bisa ketemu sama penulisnya langsung” kini giliran aku yang berteriak senang.
“ Oke nanti kita beli tiketnya. Ya sudah sampai jumpa besok Ki. Assalamu’alikum”
“Wa’alaikumussalam”jawabku menutup telepon.
Aku tersenyum sendiri membayangkan acara minggu depan. Betapa tidak, Aku akan bertemu penulis kesayanganku. Sedang senang-senangnya membayangkan acara nanti, tiba-tiba Aku teringat sesuatu yang menguapkan rasa senangku, tugas deadlineku malam ini belum selesai.
***
Namaku Zakiya Althafunnisa. Mahasiswi tingkat akhir yang sedang bergelut dengan skripsi yang minta untuk cepat diselesaikan. Aku sangat menyukai sastra, terutama Novel. Salah satu penulis yang aku kagumi adalah Daffa Amrullah. Entah sejak kapan aku begitu terpesona dengan penulis muda satu ini. Padahal usianya 2 tahun lebih muda dariku. Tapi karyanya membuat Aku sampai mengoleksi semua bukunya. Tiap untaian kata yang ia tulis di bukunya selalu membuatku berdecak kagum. Terutama novel yang berjudul “Ku Titip Cintaku Pada-Nya” mengingatkanku pada kejadian 8 tahun yang lalu. Seolah-olah Aku sedang membaca kisahku sendiri ketika Aku masih duduk dikelas dua SMA.
Aku selalu bersembunyi ketika sosoknya muncul. Hampir selalu tak bisa bernapas dengan nyaman. Aku tak pernah sepakat untuk tersenyum setiap kali harus berpapasan dengannya. Kejadian ini bermula ketika MOS. Kebetulan Aku dipercaya untuk ikut membimbing murid baru karena dianggap sebagai salah satu murid yang berprestasi.
Pagi itu Aku dan dua temanku sedang memberikan motivasi tentang prestasi di hadapan seluruh murid baru. Di akhir ada sesi tanya jawab. Namun, dari situlah peristiwa yang tak pernah kubayangkan terjadi. Yang bahkan cleaning service sekolah pun diam-diam tahu persis bagaimana jalan ceritanya.
“Perkenalkan nama saya Muhammad Zaky, panggilannya Zaky. Ingin bertanya khusus untuk kakak yang namanya kembar dengan saya”
Deg! Mata siswa yang mengaku bernama Zaky itu bertubruk dengan pandanganku. Ia tersenyum tipis dan membuat seisi ruangan geger. Aku mengangguk karena tahu siapa yang ia maksudkan. Sorak sorai tengil yang ditenggarai teman-temanku membuatku sedikit risih.
“Tolong kak Zakiya sebagai salah satu murid yang berprestasi di sekolah ini menjelaskan sedikit mengenai hubungan prestasi yang kakak dapatkan dengan amal ibadah yang selama ini kakak jalankan”.
Shock question? Rupanya cukup pintar juga dia, pikirku
“Prestasi yang kudapatkan bukanlah prestasi jika tanpa amalan. Tentu saja dari awal usahaku selalu diiringi dengan doa. Percuma jika pintar akademik tapi tidak pintar urusan rohani. Padahal sudah jelas prioritas utama kita di dunia adalah untuk mempelajari ilmu akhirat, barulah setelah itu ilmu dunia. Makanya urusan dunia sama sekali tidak bisa dipisahkan dengan urusan agama. Semua amalan yang dilakukan haruslah berdasar pada syariat agama terlebih dahulu, barulah didasarkan pada ilmu dunia”
“Contohnya?” Zaky sepertinya tak puas dengan jawabanku.
“Contohnya saja kalau kita pintar memasak. Semua masakan nusantara hampir kita kuasai. Dan kita tahu ada beberapa masakan yang akan lebih enak jika dicampur dengan olahan daging Babi. Namun karena kita tahu syariat agama mengharamkan Babi sebagai bahan makanan, maka walaupun kita tahu resep yang akan membuat makanan itu enak, kita akan tetap menghindarinya. Seperti itulah implikasi amal yang kita dahulukan.”
Zaky tersenyum dengan senyuman merekah. Ia bertepuk tangan dan membuat seisi ruangan mengikutinya. “Aku tahu kakak akan menjawab dengan cerdas. Aku suka jawaban kakak. Sekarang aku baru percaya bahwa tidak semua orang cerdas, melalaikan ilmu rohaninya. Aku menyukaimu kak Z-A-K-I-y-a” ucapnya dengan penuh penekanan dalam mengucapkan namaku.
Sorak sorai terdengar menggema kencang setelah Zaky mengakhiri perkataannya. Aku maju kedepan dan berusaha mengondusifkan suasana ruangan dengan sedikit menggedor meja depan. “Dengar kalian semua, terutama kamu Zaky. Jangan bertindak tidak sopan terhadap kakak kelas. Aku bukan bahan candaan. Dan saya tidak suka dicandai seperti itu. Paham?” mataku melotot tajam dan berhasil membuat seisi ruangan terdiam. Zaky tiba-tiba berdiri dari bangkunya.
“Tapi aku tidak bercanda kak Zakiya, aku serius saat mengatakan aku menyukai kakak” Aku tidak mengerti lagi dengan pemuda ini. Berulangkali aku mengatur napas agar emosiku tak meledak, tapi ia berhasil memancingnya.
“Dengar dan perhatikan adik kelasku Zaky. Kamu ini masih kecil. Baru lulusan SMP. Berkata-kata tanpa berfikir mungkin masih jadi ciri khasmu. Tapi mulai sekarang berhentilah karena kamu sudah menginjak SMA. Dan ingat dalam kamus besarku tidak ada yang namanya suka menyukai. Kalau mau seperti itu ya lebih baik menikah saja. Mengerti?”
Zaky tertawa kecil. Keningku berkerut tidak mengerti kenapa ada anak seberani dia “Yah kakak, aku jadi makin suka sama kakak kan. Memang benar pacaran itu riskan dengan zina. Maka izinkanlah saya untuk meminang kakak 8 tahun kedepan setelah saya lulus kuliah dan mendapat pekerjaan”.
Sial pemuda ini sudah kelewat batas. Benar-benar tak tahu sopan santun. “Sudah kubilang kan aku tidak suka lelucon semacam ini. Dan asal kamu tahu, tidak ada yang bisa mendahului kehendak Allah masalah jodoh. Berani sekali kamu berkata ingin meminang dan obral janji kosong. Jangan pernah mengucapkan kata-kata yang memuakkan. Ini peringatan terakhir” semua orang shock mendengarku mengeluarkan sumpah serapah. Aku sendiri hampir tersedak karena berkata kasar dan menghinakan seperti itu. Sesaat kemudian, Aku keluar dari pintu dan tidak mau mengurusi kelas menjengkelkan itu lagi.
Bahkan setelah Aku terang-terangan mendamprat Zaky saat MOS, laki-laki itu tetap saja berani menyapaku, bertingkah manis ketika bertemu. Hingga tahun berikutnya dia tak lagi menggangguku. Kabar yang kudengar adalah dia pindah rumah ikut keluarganya. Sampai saat ini Aku tak pernah lagi mendengar kabarnya. Entahlah bagaimana kehidupan dia selanjutnya Aku tak tahu.
Terkadang terbersit harapan agar sosok seorang Daffa menjadi pendampingku kelak. Namun, segera kutepis harapan itu. Aku tak boleh membiarkan angan itu berkembang menjadi rasa yang tak wajar. Dan sepertinya harapan itu tak akan terwujud, karena tadi malam Ayah menawarkanku seorang lelaki yang kemarin datang untuk bersilaturahmi dan mengajakku ta’aruf. Aku sudah beralasan bahwa Aku ingin menyelesaikan kuliahku dulu. Namun, ayah bilang itu bukan jadi masalah.
Melihat sorot mata mereka yang penuh harapan, terlebih merasakan kelembutan tangan Ibu yang selalu membelaiku, Aku tak mampu melukai hati mereka. Aku tak ingin mengecewakannya, sungguh Aku tak ingin mematahkan harapan mereka. melihatku hanya tertunduk diam, Ibu membelaiku dan berkata
“Putriku, Ayah dan Ibu tidak pernah memaksamu untuk menerima ini semua, tapi percayalah karena kasih sayang kami, kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Insya allah dia calon imam yang baik dan bertanggung jawab untukmu. Pikirkan baik-baik ya sayang” Aku hanya mengangguk dan pamit untuk masuk ke kamar.
Setelah 3 hari lamanya berfikir dan bermunajat kepada Allah akhirnya pagi itu Aku memutuskan untuk bicara kepada Ayah dan Ibu. Bismillah, ucapku dalam hati. “Ayah Ibu, jika memang menurut Ayah dan Ibu dia seorang laki-laki yang baik, muslim yang taat, dan bisa menjadi imam yang baik dalam rumah tanggaku kelak. Aku tak mungkin sanggup menolaknya”
“Alhamdulillah” ucap Ayah dan Ibu serentak lega. ”kalau begitu besok Ayah akan menyuruh dia dan keluarganya datang untuk melamarmu. Kalau cocok langsung tentukan hari pernikahan kalian” lanjut Ayah. Karena Aku takut akan ragu saat melihatnya, biarkan Aku melihat calon suamiku nanti setelah akad. Setelah ia halal untukku.
“Tidak Ayah. jika memang ia berniat untuk menikahiku, lusa kita adakan pernikahannya dan kenalkan Aku dengannya setelah akad nanti. Aku percaya pilihan Ayah dan Ibu pasti yang terbaik untukku” pintaku
Walaupun awalnya Ayah dan Ibu ragu dengan permintaanku, namun akhirnya mereka pun menyetujuinya. Akhirnya hari pernikahan itu telah tiba, semua tamu sudah mulai berdatangan. Bahkan calon pengantin laki-laki sudah tiba dan memasuki mesjid tempat ijab qobul. Sementara Aku duduk didepan cermin menunggu ijab qobul itu di bacakan dengan perasaan bercampur aduk. Terdengar sayup-sayup suara ijab qobul itu.
“Dengan ini saya Muhammad Zaky Daffa Amrullah, saya terima nikahnya dan kawinnya Zakiya Althafunnisa binti Abdullah dengan mas kawin tersebut tunai”
Subhanallah, Kini Aku sudah menjadi isteri orang yang belum pernah aku mengenalnya. Tak terasa air mataku mengalir. Namun, tiba-tiba Aku terfikirkan sesuatu. Sepertinya nama suamiku itu tidak asing ditelinga. Nama panjangnya sama dengan penulis idamanku itu.
“Ah sudahlah, mungkin hanya kebetulan sama” pikirku. Tak lama Ibu masuk kamar dan membawaku keluar menuju mesjid untuk bertemu dengan suamiku. Dengan perasaan tak menentu, jantung berdetak tak beraturan. Sungguh Aku tak mampu menatap wajahnya. Ayah menyuruhku untuk bersalaman dan mencium tangan suamiku. Namun Aku belum mampu menatap wajahnya. Lalu suamiku mengangkat daguku dengan lembut. Dengan hati bergetar perlahan Aku menatap wajahnya.
“Kak Zakiya, seperti janjiku padamu dulu aku kembali setelah 8 tahun Aku Titip Cintaku Pada-Nya.” ujarnya lembut dengan senyum yang menawan.
Aku terkejut tak percaya. Bagaimana bisa ternyata Ayah telah menjodohkanku dengan Muhammad Zaky, bocah kecil yang dulu begitu tekad ingin menikahiku. Dan yang berdiri dihadapanku kini telah sah menjadi suamiku adalah seorang penulis yang menjadi idolaku, Daffa Amrullah.
“Kau? eh..em maksudnya? bukankah kamu Daffa Amrullah yang penulis itu?” tanyaku bengong tak percaya dengan penglihatanku sendiri.
“Ya. Aku Muhammad Zaky, laki-laki yang 8 tahun lalu berjanji akan menikahimu dan aku juga Daffa Amrullah. Apakah kau benar-benar tak mengenaliku?” tanyanya dengan tersenyum merekah. Aku terperanjat, antara tak percaya bercampur bahagia. Aku menggelengkan kepala tersenyum malu. Aku sama sekali tak pernah memperhatikan secara seksama wajahnya, dan tak pernah menyangka.
“ta..tapi bagaimana bisa? Darimana kamu bisa tahu bahwa ini adalah aku Zakiya yang dulu?” tanyaku semakin penasaran.
“Aku sudah tahu semua tentang dirimu dengan bantuan ayahmu, karena beliau teman baik ayahku. Dan aku tidak menyangka pernikahan kita akan secepat ini. Padahal aku akan memberikan kejutan setelah acara bedah buku di kampusmu nanti” ucapnya seraya menggenggam tanganku dengan lembut dan senyuman yang tak pernah lepas dari bibirnya.
Aku hanya terpaku tak mampu berkata apa-apa. Sungguh ini suatu anugerah terindah untukku. Terima kasih Allah.
Sumber : dakwatuna.com
Post a Comment